, ,

HMI: Dari Harapan Kejayaan ke Kenyataan yang Menggelikan

HMI: Dari Harapan Kejayaan ke Kenyataan yang Menggelikan

Harianetam.id – Didirikan hanya dua tahun setelah proklamasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir sebagai manifestasi idealisme Islam dan nasionalisme. Daya intelektual, semangat pergerakan, dan cita-cita luhur yang dibawa Lafran Pane menjadikan organisasi ini tak sekadar gerakan mahasiswa, tapi juga bagian dari denyut sejarah republik.

Namun kini, citra itu memudar. Harapan kejayaan yang dulu dipahat perlahan berubah menjadi kenyataan yang menggelikan.

Dari Forum Intelektual ke Ajang Pencitraan

Di sejumlah cabang, termasuk Padangsidimpuan, yang kini menyandang embel-embel Tapanuli Selatan, HMI seolah kehilangan ruhnya. Yang dulunya menjadi ladang pembentukan karakter, kini berubah menjadi arena pencitraan dan politik transaksional.

Latihan Kader (LK), yang dulunya forum kaderisasi pemikiran, perlahan menjelma menjadi ajang jalan-jalan berlabel perjuangan. Bukannya menyelami nilai, banyak peserta malah sibuk berburu dokumentasi dan tiket gratis. Foto berjejer di Instagram lebih menarik daripada refleksi usai diskusi malam.

Komisiariat Jadi Penonton, Cabang Melempem

Lebih menyedihkan lagi, kader-kader di tingkat komisariat kini kehilangan peran. Mereka tak lebih dari pelengkap kegiatan cabang. Suara kritis nyaris hilang, tergantikan oleh tepuk tangan yang datang dari “loyalitas” terhadap struktur, bukan ide. Ketika ketua cabang melampaui masa baktinya, tidak ada protes berarti — hanya barisan pendukung diam yang berharap posisi atau kedekatan.

Relasi menggantikan rasionalitas, dan integritas terpinggirkan oleh insting survival di lingkaran kekuasaan kecil versi HMI. Yang lebih penting bukan visi, tapi siapa yang mengenal siapa di instansi tertentu.

Fenomena “Ketum Abadi” dan Komisariat Kosong Arti

Fenomena yang tak kalah unik: ketua cabang yang masa jabatannya habis, tapi tetap bernafsu menggelar kegiatan. Bukan untuk kader, tapi untuk mewariskan nama — atau sekadar eksistensi. Seolah jabatan adalah takhta spiritual yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja.

Komisariat pun ikut larut. Alih-alih bersikap, mereka justru menjadi peserta lomba mencari restu, sibuk berdamai dengan kekacauan atas nama “solidaritas”.

HMI Butuh Refleksi, Bukan Sekadar Tradisi

Sebagai pengamat akar rumput yang sering nongkrong di warung kopi Rumbio, saya hanya bisa tertawa getir. Inikah wajah HMI masa kini? Organisasi yang dulu melahirkan tokoh bangsa, kini lebih sibuk dengan pencitraan personal dan jaringan pragmatis?

Apa yang diwariskan Lafran Pane tampaknya telah berubah arah. Dari pelita perubahan, menjadi lampu hias yang hanya dinyalakan saat acara. Dari penggerak sejarah, menjadi pengikut tren FOMO—asal tampil, asal eksis, asal dianggap aktif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *